Minggu, 29 Desember 2013

Catatan 2013 Tentang Pemilu


Tahun 2014 yang menjadi tahun politik, memang membuat persaingan di tahun 2013 ini menjadi 'gila'! Ada banyak kasus korupsi yang kemudian menjerat kader berbagai partai. Dari PDIP, Golkar, PKS, Dan tentu saja, Demokrat. Hal ini ternyata sangat mempengaruhi peta kekuatan partai pemilu menjelang acara akbar ini. Mungkin saja, gara-gara kejadian ini, peta persaingan di pemilihan presiden 2014 pun akan berubah. Mari kita simak laporan khas dari berita satu berikut:

Tahun Terakhir Sebelum Pemilu, Peta Berubah

Tahun 2013 adalah era penuh ujian bagi partai-partai politik besar akibat ulah para petingginya sendiri, sehingga banyak mengubah konstelasi atau peta kekuatan mereka menjelang saat paling krusial pemilihan umum (Pemilu) yang tinggal hitungan bulan saja. Meski pemilu ke depan ini persiapannya tak semarak tahun-tahun sebelumnya, namun tetap saja perhatian mayoritas rakyat Indonesia akan banyak tertuju pada perhelatan politik itu.
Yang paling menarik dari pemilu tahun depan adalah sifatnya yang sangat unpredictable, tidak seperti pemiliu-pemilu sebelumnya. Partai-partai besar yang sekarang mendominasi panggung politik nasional tidak lagi secara otomatis difavoritkan, karena berbagai skandal korupsi high profile yang mencoreng reputasi.
Para calon presiden berumur yang dulu terhalang langkahnya oleh Susilo Bambang Yudhoyono, sekarang harus berhadapan dengan idola baru: Jokowi yang memenangi pilgub Jakarta dengan KTP Solo.
Untuk mengukur kekuatan peserta pemilu, tampaknya masyarakat Indonesia tak punya pilihan selain berkaca pada berbagai survei yang banyak dipublikasikan ke ranah publik. Salah satunya yang menonjol adalah survei dari Indobarometer.
Gerindra Diprediksi Bangkit
Seperti disampaikan oleh M.Qodari, dari Indobarometer, dari berbagai hasil survei sejauh ini, tampaknya pemilu 2014 akan menghasilkan tiga atau empat partai besar yang mendapat suara di atas 10 persen. Keempat partai itu adalah PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, dan Partai Demokrat.
Mengapa Gerindra tetap harus dianggap? Menurut Qodari, itu karena selama ini trennya konsisten di atas pemilu 2009. Partai Demokrat, walau trennya turun dari raihan pemilu 2009, bagaimanapun dia adalah partai berkuasa.
Menurut dia, dari semua parpol, ada dua parpol yang layak dikedepankan menjadi dua partai terbesar, entah karena kekuataan basis maupun kekuatan figurnya, yakni PDI Perjuangan dan Partai Golkar. Bisa dikatakan bahwa kedua partai itu masing-masing akan bisa mengajukan calon presiden sendiri di pilpres 2014.
Yang menarik, bila Golkar terlihat firm dengan Aburizal Bakrie sebagai capresnya, khusus untuk PDI Perjuangan, akan ada satu fase lagi yang harus dihadapi yakni penentuan figur yang akan diusung sebagai calon presiden.
Dari PDIP, kata Qodari, ada diskusi hangat tentang pilihan yang sejauh ini mengerucut pada dua nama: Megawati Soekarnoputri dan Joko Widodo. Ada kelompok yang menginginkan Megawati maju kembali dan ada yang ingin Jokowi.
Jokowi dipertimbangkan karena sejumlah alasan di antaranya elektabilitasnya yang tinggi. Namun apapun pertimbangan kelompok yang mendukung Jokowi, keputusan ada di tangan Megawati yang menjadi Ketua Umum PDIP sekaligus orang yang diberi mandat oleh PDIP untuk memutus nama calon presiden.
Bila merunut pada hasil survei Indobarometer, Jokowi sebagai capres PDIP akan selalu memenangkan pertarungan di pilpres mendatang melawan sosok bakal capres partai lainnya. Sebaliknya, Megawati akan cenderung kalah bila maju sebagai capres.
“Bahkan di kalangan pemilih PDIP sendiri, prosentase pemilih Jokowi lebih solid daripada Megawati. Jika yang jadi capres adalah Jokowi maka 76,8 persen pemilih PDIP memilih Jokowi. Sementara Megawati hanya 46,4 persen,” jelas Qodari.
Momentum di Tangan PDIP
Pendapat senada ditegaskan Pengamat Politik dari Charta Politika, Arya Fernandez. Dia meyakini bahwa PDI Perjuangan adalah partai yang berpotensi memenangi pemilu 2014.
"Syaratnya tidak terjadi konflik di lingkaran elite partai dan mesin partai terus bekerja untuk pemilu," kata Arya.
Bagi Arya, apabila PDI Perjuangan berani menyatakan Jokowi sebagai capres sejak dini, itu pasti akan membantu proses pemenangan partai berlambang banteng itu di pemilu legislatif. Sayangnya, menurut dia, Megawati sebagai ketua umum belum 100% yakin akan mencalonkan Jokowi.
"Opsi Megawati kembali maju sebagai capres masih terbuka," kata dia.
"Mega sadar Jokowi punya insentif kenaikan suara partai tetapi Mega belum ikhlas memberikan tiket ke Jokowi. Makanya untuk tetap bisa memanfaatkan figur Jokowi, Mega mengulur waktu penetapan capres."

Dia meyakini, hasil yang akan diperoleh PDI Perjuangan di Pileg 2014 tentu akan berbeda bila segera menegaskan posisi Jokowi sebagai capres atau tidak. Karena jelas bahwa elektabilitas Jokowi jauh lebih tinggi dibanding Mega, dan Jokowi juga menjadi faktor penting yang dipertimbangkan publik ketika memilih PDIP.
Apabila PDIP tetap memaksakan Megawati maju sebagai capres, kata dia, maka Gerindra dan Prabowo Subianto-lah yang akan mendapatkan insentif suara.
"Prabowo sangat berpeluang menjadi presiden bila PDIP memajukan Mega," imbuhnya.
"Sementara Golkar takkan terpengaruh atas nominasi Megawati itu. Suara Golkar tidak akan bergerak banyak pada kisaran 12-15 persen. Jualan Golkar dalam kampanye tidak banyak yang berhasil memikat pemilih."
Terlepas dari itu semua, Arya mendorong PDIP agar berani bekerja memenangkan partai dengan mengeluarkan kampanye-kampanye kreatif. PDI Perjuangan pun disarankannya tidak usah terlalu bersikap frontal terhadap pemerintah.
"Cukup membuat kebijakan-kebijakan yang populis yang menarik perhatian masyarakat," kata Arya.
"Satu cara yang bagus yang bisa dilakukan PDIP adalah merebut kembali basis-basis PDIP di 1999 lalu."
Persiapan Pemilu, MK Jadi Titik Lemah
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah bekerja maksimal bersama dengan Pemerintah untuk menyiapkan para anggiota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang berusia cukup muda dengan trek rekor yang cukup menjanjikan. Itu masih ditambah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang dipimpin oleh Jimly Asshidiqie, yang dalam arti tertentu, kerap dianggap ’tegas’ dalam mengambil keputusan terhadap penyelenggara pemilu yang dianggap menyalahi aturan.
Di luar itu, DPR bersama dengan Pemerintah juga aktif mengambil peran membuat aturan perundang-undangan terkait pemilu 2014 dan Pemilihan presiden (Pilpres) 2014. Terakhir, kesepakatan sudah diambil terkait RUU Pilpres yang diendapkan dengan tujuan memakai kembali UU Pilpres yang dahulu dipakai di Pemilu 2009.
Karena itulah Ray Rangkuti dari Lingkar Madani (Lima) Indonesia berani menyatakan bahwa sebenarnya persiapan pelaksanaan pemilu 2014 pada dasarnya berlangsung cukup baik dan siap.
”Ada KPU dan bahkan kini ada DKPP. Selain itu ada juga Bawaslu yang kewenangannya juga bertambah,” kata Ray di Jakarta, Kamis (26/12).
Kalaupun ada yang perlu dicemaskan terkait hal itu adalah terkait Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga itu adalah yang bertanggung jawab memutus bila ada sengketa terkait hasil pemilu dan pemilukada.
Tentu semua masih ingat kejadian beberapa bulan lalu dimana Akil Muchtar, seorang mantan Politisi Golkar yang menjabat sebagai Ketua MK, ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akibat dugaan menerima suap. Menurut Ray, hal itu tentu akan memunculkan kesan negatif atas independensi serta keadilan dalam setiap putusan MK, terlepas dari benar tidaknya dugaan KPK atas Akil.

Masalah ditambah lagi dengan dinonaktifkannya tiga hakim di luar Akil, yang telah terlebih dahulu dinonaktifkan karena kasusnya itu. Dengan demikian, dari 10 jumlah hakim MK yang biasanya bertugas, tinggallah enam hakim lagi yang bertugas. Sementara MK bisa bertugas bila ada minimal 7 hakim MK yang bekerja.
Semakin rawan karena pemilihan hakim MK baru membutuhkan waktu setidaknya tiga bulan ke depan, sementara Pemilu akan berlangsung empat bulan lagi.
”Ini memang rawan sekali,” ujarnya.
Walau demikian, Ray bisa menyatakan bahwa sebenarnya dari sisi aturan dan kesiapan kelembagaan dari masing-masing lembaga itu masih bisa dikejar. Yang kemudian menjadi semakin penting untuk diperhatikan adalah kemampuan dari masing-masing personil yang ada di lembaga-lembaga itu dalam melaksanakan tugasnya masing-masing.
Sebagai contoh, para anggota KPU sudah berulang kali mendapatkan teguran dari DKPP terkait kinerja dan keputusan mereka yang keliru dalam beberapa proses pelaksanaan pemilu. Dari proses verifikasi dan penetapan parpol peserta pemilu, hingga belakangan terkait kerjasama KPU dengan Lembaga Sandi Negara yang akhirnya dibatalkan.
Pada konsistensi atau tidaknya pelaksanaan butir-butir tugas mereka itulah adanya kemungkinan tindakan curang oleh parpol tertentu, atau oleh oknum penyelenggara pemilu, kata Ray.
”Melihat kinerja pelaksana dan pengawas yang lemah, ada kemungkinan munculnya kecurangan. Inilah tantangan yang kita hadapi untuk pemilu 2014 ini,” tandas Ray.
”Bagaimanapun, pada titik itulah mata seluruh rakyat Indonesia, atau siapapun pihak yang berkepentingan terhadap pemilu jujur dan adil di Indonesia, harus diarahkan.”

0 komentar:

Posting Komentar

    Blogger news

    Blogroll

    Categories

    Tentang Kami

    Directory berita tentang pemilu legislatif dan pemilihan presiden 2014