Tahun 2014 yang menjadi tahun politik, memang membuat persaingan di tahun 2013 ini menjadi 'gila'! Ada banyak kasus korupsi yang kemudian menjerat kader berbagai partai. Dari PDIP, Golkar, PKS, Dan tentu saja, Demokrat. Hal ini ternyata sangat mempengaruhi peta kekuatan partai pemilu menjelang acara akbar ini. Mungkin saja, gara-gara kejadian ini, peta persaingan di
pun akan berubah. Mari kita simak laporan khas dari
Tahun 2013 adalah era penuh ujian bagi partai-partai politik
besar akibat ulah para petingginya sendiri, sehingga banyak mengubah
konstelasi atau peta kekuatan mereka menjelang saat paling krusial
pemilihan umum (Pemilu) yang tinggal hitungan bulan saja. Meski pemilu
ke depan ini persiapannya tak semarak tahun-tahun sebelumnya, namun
tetap saja perhatian mayoritas rakyat Indonesia akan banyak tertuju pada perhelatan politik itu.
Yang paling menarik dari pemilu tahun depan adalah sifatnya yang sangat
unpredictable,
tidak seperti pemiliu-pemilu sebelumnya. Partai-partai besar yang
sekarang mendominasi panggung politik nasional tidak lagi secara
otomatis difavoritkan, karena berbagai skandal korupsi
high profile yang mencoreng reputasi.
Para calon presiden berumur yang dulu terhalang langkahnya oleh
Susilo Bambang Yudhoyono, sekarang harus berhadapan dengan idola baru:
Jokowi yang memenangi pilgub Jakarta dengan KTP Solo.
Untuk mengukur kekuatan peserta pemilu, tampaknya masyarakat
Indonesia tak punya pilihan selain berkaca pada berbagai survei yang
banyak dipublikasikan ke ranah publik. Salah satunya yang menonjol
adalah survei dari Indobarometer.
Gerindra Diprediksi BangkitSeperti disampaikan
oleh M.Qodari, dari Indobarometer, dari berbagai hasil survei sejauh
ini, tampaknya pemilu 2014 akan menghasilkan tiga atau empat partai
besar yang mendapat suara di atas 10 persen. Keempat partai itu adalah
PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, dan Partai Demokrat.
Mengapa Gerindra tetap harus dianggap? Menurut Qodari, itu karena
selama ini trennya konsisten di atas pemilu 2009. Partai Demokrat, walau
trennya turun dari raihan pemilu 2009, bagaimanapun dia adalah partai
berkuasa.
Menurut dia, dari semua parpol, ada dua parpol yang layak
dikedepankan menjadi dua partai terbesar, entah karena kekuataan basis
maupun kekuatan figurnya, yakni PDI Perjuangan dan Partai Golkar. Bisa
dikatakan bahwa kedua partai itu masing-masing akan bisa mengajukan
calon presiden sendiri di pilpres 2014.
Yang menarik, bila Golkar terlihat
firm dengan Aburizal
Bakrie sebagai capresnya, khusus untuk PDI Perjuangan, akan ada satu
fase lagi yang harus dihadapi yakni penentuan figur yang akan diusung
sebagai calon presiden.
Dari PDIP, kata Qodari, ada diskusi hangat tentang pilihan yang
sejauh ini mengerucut pada dua nama: Megawati Soekarnoputri dan Joko
Widodo. Ada kelompok yang menginginkan Megawati maju kembali dan ada
yang ingin Jokowi.
Jokowi dipertimbangkan karena sejumlah alasan di antaranya
elektabilitasnya yang tinggi. Namun apapun pertimbangan kelompok yang
mendukung Jokowi, keputusan ada di tangan Megawati yang menjadi Ketua
Umum PDIP sekaligus orang yang diberi mandat oleh PDIP untuk memutus
nama calon presiden.
Bila merunut pada hasil survei Indobarometer, Jokowi sebagai capres
PDIP akan selalu memenangkan pertarungan di pilpres mendatang melawan
sosok bakal capres partai lainnya. Sebaliknya, Megawati akan cenderung
kalah bila maju sebagai capres.
“Bahkan di kalangan pemilih PDIP sendiri, prosentase pemilih Jokowi
lebih solid daripada Megawati. Jika yang jadi capres adalah Jokowi maka
76,8 persen pemilih PDIP memilih Jokowi. Sementara Megawati hanya 46,4
persen,” jelas Qodari.
Momentum di Tangan PDIPPendapat senada
ditegaskan Pengamat Politik dari Charta Politika, Arya Fernandez. Dia
meyakini bahwa PDI Perjuangan adalah partai yang berpotensi memenangi
pemilu 2014.
"Syaratnya tidak terjadi konflik di lingkaran elite partai dan mesin partai terus bekerja untuk pemilu," kata Arya.
Bagi Arya, apabila PDI Perjuangan berani menyatakan Jokowi sebagai
capres sejak dini, itu pasti akan membantu proses pemenangan partai
berlambang banteng itu di pemilu legislatif. Sayangnya, menurut dia,
Megawati sebagai ketua umum belum 100% yakin akan mencalonkan Jokowi.
"Opsi Megawati kembali maju sebagai capres masih terbuka," kata dia.
"Mega sadar Jokowi punya insentif kenaikan suara partai tetapi Mega
belum ikhlas memberikan tiket ke Jokowi. Makanya untuk tetap bisa
memanfaatkan figur Jokowi, Mega mengulur waktu penetapan capres."
Dia meyakini, hasil yang akan diperoleh PDI Perjuangan di Pileg 2014
tentu akan berbeda bila segera menegaskan posisi Jokowi sebagai capres
atau tidak. Karena jelas bahwa elektabilitas Jokowi jauh lebih tinggi
dibanding Mega, dan Jokowi juga menjadi faktor penting yang
dipertimbangkan publik ketika memilih PDIP.
Apabila PDIP tetap memaksakan Megawati maju sebagai capres, kata dia,
maka Gerindra dan Prabowo Subianto-lah yang akan mendapatkan insentif
suara.
"Prabowo sangat berpeluang menjadi presiden bila PDIP memajukan Mega," imbuhnya.
"Sementara Golkar takkan terpengaruh atas nominasi Megawati itu.
Suara Golkar tidak akan bergerak banyak pada kisaran 12-15 persen.
Jualan Golkar dalam kampanye tidak banyak yang berhasil memikat
pemilih."
Terlepas dari itu semua, Arya mendorong PDIP agar berani bekerja
memenangkan partai dengan mengeluarkan kampanye-kampanye kreatif. PDI
Perjuangan pun disarankannya tidak usah terlalu bersikap frontal
terhadap pemerintah.
"Cukup membuat kebijakan-kebijakan yang populis yang menarik perhatian masyarakat," kata Arya.
"Satu cara yang bagus yang bisa dilakukan PDIP adalah merebut kembali basis-basis PDIP di 1999 lalu."
Persiapan Pemilu, MK Jadi Titik LemahDewan
Perwakilan Rakyat (DPR) sudah bekerja maksimal bersama dengan Pemerintah
untuk menyiapkan para anggiota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang berusia cukup muda dengan trek rekor yang
cukup menjanjikan. Itu masih ditambah Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu (DKPP) yang dipimpin oleh Jimly Asshidiqie, yang dalam arti
tertentu, kerap dianggap ’tegas’ dalam mengambil keputusan terhadap
penyelenggara pemilu yang dianggap menyalahi aturan.
Di luar itu, DPR bersama dengan Pemerintah juga aktif mengambil peran
membuat aturan perundang-undangan terkait pemilu 2014 dan Pemilihan
presiden (Pilpres) 2014. Terakhir, kesepakatan sudah diambil terkait RUU
Pilpres yang diendapkan dengan tujuan memakai kembali UU Pilpres yang
dahulu dipakai di Pemilu 2009.
Karena itulah Ray Rangkuti dari Lingkar Madani (Lima) Indonesia
berani menyatakan bahwa sebenarnya persiapan pelaksanaan pemilu 2014
pada dasarnya berlangsung cukup baik dan siap.
”Ada KPU dan bahkan kini ada DKPP. Selain itu ada juga Bawaslu yang
kewenangannya juga bertambah,” kata Ray di Jakarta, Kamis (26/12).
Kalaupun ada yang perlu dicemaskan terkait hal itu adalah terkait
Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga itu adalah yang bertanggung jawab
memutus bila ada sengketa terkait hasil pemilu dan pemilukada.
Tentu semua masih ingat kejadian beberapa bulan lalu dimana Akil
Muchtar, seorang mantan Politisi Golkar yang menjabat sebagai Ketua MK,
ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akibat dugaan menerima
suap. Menurut Ray, hal itu tentu akan memunculkan kesan negatif atas
independensi serta keadilan dalam setiap putusan MK, terlepas dari benar
tidaknya dugaan KPK atas Akil.
Masalah ditambah lagi dengan dinonaktifkannya tiga hakim di luar
Akil, yang telah terlebih dahulu dinonaktifkan karena kasusnya itu.
Dengan demikian, dari 10 jumlah hakim MK yang biasanya bertugas,
tinggallah enam hakim lagi yang bertugas. Sementara MK bisa bertugas
bila ada minimal 7 hakim MK yang bekerja.
Semakin rawan karena pemilihan hakim MK baru membutuhkan waktu
setidaknya tiga bulan ke depan, sementara Pemilu akan berlangsung empat
bulan lagi.
”Ini memang rawan sekali,” ujarnya.
Walau demikian, Ray bisa menyatakan bahwa sebenarnya dari sisi aturan
dan kesiapan kelembagaan dari masing-masing lembaga itu masih bisa
dikejar. Yang kemudian menjadi semakin penting untuk diperhatikan adalah
kemampuan dari masing-masing personil yang ada di lembaga-lembaga itu
dalam melaksanakan tugasnya masing-masing.
Sebagai contoh, para anggota KPU sudah berulang kali mendapatkan
teguran dari DKPP terkait kinerja dan keputusan mereka yang keliru dalam
beberapa proses pelaksanaan pemilu. Dari proses verifikasi dan
penetapan parpol peserta pemilu, hingga belakangan terkait kerjasama KPU
dengan Lembaga Sandi Negara yang akhirnya dibatalkan.
Pada konsistensi atau tidaknya pelaksanaan butir-butir tugas mereka
itulah adanya kemungkinan tindakan curang oleh parpol tertentu, atau
oleh oknum penyelenggara pemilu, kata Ray.
”Melihat kinerja pelaksana dan pengawas yang lemah, ada kemungkinan
munculnya kecurangan. Inilah tantangan yang kita hadapi untuk pemilu
2014 ini,” tandas Ray.
”Bagaimanapun, pada titik itulah mata seluruh rakyat Indonesia, atau
siapapun pihak yang berkepentingan terhadap pemilu jujur dan adil di
Indonesia, harus diarahkan.”